Gatot Nurmantyo, dulunya adalah seorang Panglima TNI. Seseorang yang terkenal pekerja kerasa dan disiplin ini akhirnya meraih gelar sebagai Panglima TNI di usia 55 tahun. Karirnya begitu gemilang di dunia militer, namun namanya mulai disorot pada 2106, saat Gatot Nurmantyo mengemukakan sebuah ide dimana tentara boleh berpolitik kembali. Pernyataan tersebut telah berprospek mengundang perbincangan di kalangan elit DPR kala itu.
Gatot Nurmantyo dilantik Presiden Joko Widodo pada Juli 2015 sebagai Panglima TNI setelah sebelumnya masih menjabat menjadi Jenderal. ‘saya akan senantiasa menjunjung tinggi sumpah prajurit.’ adalah kata-kata Gatot Nurmantyo ketika ia di sumpah jabatan di dalam Istana Negara. Dimana pria kelahiran Tegal, 13 Maret1960 mengikrarkan kesediaan dirinya untuk mengabadi pada bangsa Indoensia.
Orang yang sempat digadang-gadang akan menjadi wakil presiden mendampingi Joko Widodo itu berkata bahwa, ‘Prajurit itu kalau diperintah harus siap. Yang memerintah saya adalah Presiden sebagai Panglima Tertinggi.’
Ia adalah sosok yang terkenal tegas, disiplin dalam menjalankan tugas sebagai prajurit atau abdi negara. Kata-kata Gatot Nurmantyo memberikan contoh bagaimana seorang harus totalitas dalam menjalankan profesinya, juga tetap taat pada peraturan pemerintah.
Selain rajin menyuarakan tentang persatuan dan kesatuan bangsa, Gatot Nuramtyo tergabung dalam aksi toleransi beragama. Gatot bersama Khofifah Indar Parawansa selaku Menteri Sosial, Kepolri Tito Karnavian berserta para aktivis Islam menyuarakan dukungan terhadap persatuan antar beragama.
Hal ini dilatarbelakangi oleh aksi unjuk rasa yang terjadi di Jakarta selama periode Novermber 2016. Sebuah aksi protes masyarakat di seluruh Indonesia terhadap Basuki Tjahaja Purnama yang tengah menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Dimana terjadi intoleransi dan sinofobia dalam proses unjuk rasa tersebut.
Kala itu, lewat kata-kata Gatot Nurmantyo menegaskan bahwa,‘Resolusi jihad belum pernah dicabut, artinya jihad masih berlaku. Namun konteks perlawanan bukan lagi dengan melawan penjajah, melainkan dengan cara beribadah, mencari nafkah, dan mencari ilmu untuk masa depan bangsa.’
Kalimat tersebut mengingatkan kembali bahwa bukan saatnya bersikap intoleransi terhadap keragaman budaya di Indonesia, karena keragaman budaya adalah investasi yang telah turun-temurun diwariskan oleh nenek moyang kita. Melainkan meningkatkan kualitas diri sebagai umat beragama, makhluk sosial, juga sebagai warga negara yang wajib memajukan bangsa.